Seputih Mutiara

Kamis, 13 November 2014

Awal aku menulis sebuah cerpen ketika masih dibangku Sekolah Menengah Pertama. Ketika aku baru mengenal dunia baruku ini... dan Cerpen ini pernah aku tulis di blog saya yang hilang ini. Dan inilah...

Adi, begitulah namanya. Sosoknya yang ku kenal begitu menawan. Dia hebat dalam segala hal, olahraga, Sains bahkan dalam hal menarik perhatian wanita tak hanya para gadis yang sudah dewasa, ibu-ibu bahkan hingga nenekku pun kagum pada dia. Sungguh aku iri dengannya. Tapi kenapa aku mesti iri, toh dia adalah sahabat terbaikku sendiri.

Siang itu, langit tak mampu membendung kuasa-Nya. Langit menangis melimpahkan air matanya ke bumi. Tanah yang gersang berubah menjadi legam…. berwarna kecoklatan karena basah tersiram air hujan. Aktivitas di sebuah dusun kecil dipinggiran serayu tiba-tiba berhenti karena guyuran hujan. Semuanya terdiam, sejenak memandang angkasa. TAk berbeda denganku, aku mengurungkan niatku untuk pergi menemui adi. Padahal rencana hari ini aku dan adi akan ke serayu, sekedar memancing dan memainkan ombak kecil disana. Hanya bisa pasrah kalau sudah begini, menungu hujan reda. Kalaupun aku nekad, pasti nenek akan marah padaku.

“Eko…. ” Teriak seorang bocah kecil. Berusia sekitar 7 tahun, berlari sambil menerjang hujan. Hujan pun dia lawan. Dengan kulit kecoklatan khas kuli oreang daerah tropis, dia berlari menghampiriku.

“Adi… kenapa kamu hujan-hujanan. Nanti sakit lo di….” kataku sambil memandangnya

“Akh, masa cuma karena hujan bisa sakit. gak lah… ayo eko, kita ke serayu…. “

“hujan-hujan begini? ” jawabku

“Iya lah…. kalau menunggu reda, kapan kita bisa kesana…. eh nenek tak ada dirumah kan” Tanya dia

“Tuh lihat dibelakangmu…” jawabku sambil menunjuk ke nenek yang sedang menuju rumah membawa payung. Dan sebungkus bawaan kecil di kresek.

“Adi…. kamu gak takut sakit?” kata nenek sambil menyingkirkan payungnya. “Sudah, ayo ganti baju, main di dalam rumah saja”

“akh, ga asik nek, masa dirumah… ayolah nek…. biarkan eko main hujan hujannan bersamaku” pintanya

“sekali tidak, tetap tidak… titik” kata nenek sambil masuk ke rumah.

Adi, memang sudah dianggap seperti cucu sendiri oleh nenekku. Kedekatannya denganku membuat nenek juga sayang padanya. Kalian itu seperti saudara kembar, tapi tak sama. begitulah nenek selalu meledek kami.

Hujan telah reda, dan kamipun langsung menuju serayu.

Serayu, padamulah kisah klasik persahabatan ini kutitipkan.

“Eko.. kau mau ikut tamasya bersama ku dan keluargaku?” Ajak adi

Bimbang dan ragu. Antara ikut dn pulang kerumah kedua orang tuaku.

“Maaf adi, aku tak bisa…. aku harus pulang besok.”

“Besok… ?” kenapa mesti besok?” bukankah masih ada besoknya lagi, besoknya lagi?” tanyanya

“Aku tak bisa adi, harus besok aku pulang. Orang tuaku tak bisa lama-lama dirumah” Jawabku sambil menundukan kepala

“Sudahlah kalau begitu. Oh ya Eko, aku punya sesuatu untukmu” Adi lalu menjulurkn bungkusan kecil

Kotak kecil dengan tulisan kotak mimpi, ya aku tahu artinya itu. Dia sudah menuliskan impiannya. Dia berharap bisa mewujudkan impiannya. Lantas kenapa kotak itu diiserahkan padaku? Sebungkus lagi, apa ini? Akh, rasa-rasanya seperti sebuah baju….

“eko, simpan kotak mimpiku dan simpan bajuku ya….” kata adi sambil meninggalkanku

“Tapi adi….” belum aku selesai berkata Adi berlari dan berteriak. Siampan saja…..!

Sebulan sudah aku dirumah, rasanya aku ingin kembali bertemu sahabatku itu. LAntas aku diantar ayah dan ibuku kerumah nenek. Tanpa basa-basi, langsung saja aku berlari ke rumah adi. Aku panggil-panggil dia…

“Adi….. Adi……!” teriakku sambil melihat sekeliling rumah.

Rumahnya sepi, pintunya tertutup rapat. Jendelanya terkunci. Kenapa ini, ada apa. Lalu aku menuju tempat kami biasa main. Tempatnya kotor, seperti tak ada yang menggunakannya.

Dengan wajah penuh tanya, aku kembali kerumah. Didepan kulihat nenek menungguku di pintu rumah. Ada apa ini? nenek kenapa dia sedih? Lalu nenek merangkulku ketika aku sampai di depannya. Tak pelak, nenek tiba-tiba menangis. Ada apa ini semuanya?

“Eko…. , maafkan nenek yang tak memberimu kabar tentang Adi” Kata nenek sambil terisak.

“Kenapa dengan Adi nek? apakah dia pergi? Pindah rumah ? mengikuti orang tuanya? Jawabku dengan penuh tanya

“Adi… adi pergi untuk selamanya….” Kta nenek sambil mempererat pelukannya

Bagai petir disiang hari, tanpa mendung tanpa angin, tanpa badai. Aku terkena sambarannya. Hujan tak kunjung datang, namuun kemarau telah berlalu. Semuanya telah mati. Adi, benarkah dia perhi untuk selamanya?

Tak terasa, aku menangis. Tak kuasa ku tahan air mata ini. Ingin rasanya menjerit, sahabat yang sagat kusayangi tel;ah pergi untuk selamanya. Ibu dan Ayah menghampiriku. Lantas mereka juga memelukku. Mereka tahu, kami adalah saudara kembar yang terpisah. Sahabat yang sangat dekat sekali. Namun aku tak bisa apa, hanya diam dan menangis. Hanya itu, ketika semuanya telah berubah dan terlajur terencana….

“Sehari setelah kau pulang, dia kesini. Menanyakan tentangmu. Setelah itu dia pergi ke serayu… saat sedang berjalan di tepi jalan raya depan, dia terserempet mobil. Langsung saja saat itu dia dibawa ke Rumah Sakit. Tapi sayang, nyawanya tak bisa tertolong” cerita nenek sambil berkaca-kaca.

Aku hanya diam, diam dan diam. Tak ada kata yang bisa kurangkai, tak ada kalimat yang bisa ku ucap. Semuanya gelap. Semuanya layu… Bukankah persahabatan itu pasti setia dan menunggu? Bukankah persahabatn itu akan abadi. Lalu kenapa dia pergi di usia yang belia ini?

Tak kan pernah kulihat lagi sosoknya. Tak akan pernah lagi kulihat senyumnya. Untaian giginya putih, seputih mutiara. Badannya tegap, setegap karang dilautan. Tak bisa lagi kukenang senyumnya. Semuanya… Hanya bayangan semu yang tersisa. Ku tak mampu mengajaknya bicara dan bercanda. Senyumnnya yang manis itu kini telah terkubur dalam bersama jasadnya di pemakaman. Tingkah lakunya yang menawan telah terkubur bersama tulang nya. Semuanya telah usai.. kisah antara aku dan adi…. hanya akan menjadi cerita persahabatan abadi.

Lalu nenek mengajakku ke suatu tempat. Dan benar, dia mengajakku ke sebuah makam mungil. Dengan tanah yang masih basah serta nisan bertuliskan” Ryan Adi Susandi” Aku hanya bisa mamandangnya, aku hanya bisa melihatnya. Sore ini begitu kelabu, warna jingga di ufuk barat tak mampu mencairkan suasana. Semuanya larut dalam kesedihan. Bunga kamboja pun ikut bersedih, dia terlepas dari rantingnya. Selamat jalan sahabat kecilku…. Seperti yang pernah kau katakan, “Di satu Bintang Terang itu, kita akan bertemu…. dan kita akan bermain bersama dibintang itu…”

0 komentar:

Posting Komentar